Nggak Seperti Kami yang LDII, Muhammadiyah Sudah Cukup Lucu Kok
Kemarin, seorang oknum kader Muhammadiyah mengeluhkan ketidakmampuan untuk melucu seperti kebanyakan warga Nahdliyin. Saya cuma mau bilang, “Mending situ cuma dianggap tidak lucu, lah kami ini dianggap nggak lucu, kaku, garis keras, sesat pula. Mantep toh?”
Saya sejak orok udah
sah menjadi bagian dari warga LDII. Itu tuh, yang ketika sampeyan coba ngetik
empat huruf tersebut di Google, rekomendasi yang kebanyakan muncul adalah bukti
kesesatan, mantan yang insaf, alasan untuk menjauhi LDII, dan stereotip negatif
lainnya.
Coba bandingkan
dengan teman-teman dari Muhammadiyah. Kalau sampeyan di Muhammadiyah masih enak
meskipun memiliki jargon “Yang penting Al-Quran Al-Hadis” tapi nggak pernah
digosipkan sesat seperti kami. Bisa dibilang, organisasi keagamaan kalian
cenderung berkonotasi jauh lebih positif ketimbang kami yang LDII.
Saya yakin, meskipun
sampeyan nggak baca doa qunut sampai mengharamkan rokok, sampeyan nggak pernah
kan merasa khawatir untuk mengaku sebagai warga Muhammadiyah?
Sedangkan kami yang
LDII ini, sejak puluhan tahun silam, sebelum banyak artis hijrah, kami yang
umumnya bercelana cingkrang sering mendapat lirikan nyinyir atau senyum sinis
dari orang lain.
Dalam hati kecil ini, entah kenapa muncul saja
perasaan lebih baik mengaku sebagai nonmuslim sekalian saja daripada ngaku
sebagai warga LDII. Bahkan asal sampeyan tahu saja, waktu saya menulis ini pun
saya ingin sekali menjadi anonim, karena sampai sekarang pun tidak banyak yang
tahu saya warga LDII. Tuh lihat inlander sekali bukan kami ini?
Kami yang menjaga jarak karena bukan muhrim
diartikan sebagai sok alim atau sombong. Kami yang dikatakan punya Imam,
dianggap punya “Kerajaan Islam” sendiri.
Lah itu, di luar sana bukannya ada
juga yang mendaku sebagai Imam Besar.
Nggak ada masalah tuh sampai sekarang? Didukung banyak banget orang lagi dan diklaim
sampai jutaan.
Hal itulah yang bikin saya masih heran, kenapa
predikat sebagai umat muslim yang terlalu fanatik cuma dilekatkan pada kening
kami doang ya?
Padahal bicara tentang kefanatikan tentu tergantung
pada individu masing-masing. Nyatanya saya punya saudara warga Nahdliyin,
beliau mewanti-wanti anaknya, menantu yang diterima hanyalah menantu dari
kalangan Nahdliyin.
See...? Di luar sana gosip yang beredar,
warga LDII dilarang menikah dengan orang di luar LDII, padahal saudara saya,
keluarga besar bapak saya, nyel… orisinil warga NU semua-semuanya bahkan sampai
yang belum brojol alias masih dalam kandungan. Dan saya? Enjoy aja tuh nggak
ada masalah.
Oke balik lagi, mengenai keluhan nggak bisa melucu
sebagai warga Muhammadiyah, mbok ya nggak usah maksa bisa lucu, Mas. Di luar
sampean ada kami warga LDII yang jangankan untuk melucu, bisa merasa yakin
untuk tidak dirasani saja kami sudah mengucap syukur Alhamdulillah.
Saya sadar bahwa kami terlampau serius, satu sampai
dua strip di atas keseriusan warga Muhammadiyah. Kami dinilai cenderung
eksklusif, bahkan untuk melucu pun kami eksklusif. Tokoh-tokoh kami tak ada
yang muncul ke permukaan untuk menaanggapi isu nasional, kalaupun ada saya
yakin tidak ada yang tahu kalau beliau tokoh LDII. Ya maklum, masyarakat kelas
dua gitu.
Sampeyan masih beruntung punya
Muhammadiyah Garis Lucu meski harus disentil Mas Iqbal Aji Daryono. Walau
menurut sampeyan gerakan itu nggak ada lucu-lucunya sama sekali, lah kami?
Jangankan garis lucu, yang ada ketika ngetik di Google dengan kata awal LDII,
pilihan yang muncul adalah “keras”, “sesat”. Ngaaa~
Muhammadiyah sebagai ormas besar bahkan memberi
tanggapan dan seruan kepada warganya terkait “bendera tauhid yang dibakar”.
Sedangkan kami? Boro-boro memberi tanggapan di
media, lha wong kami ini dibandingkan NU dan Muhammadiyah jika diibaratkan
seperti sepeda onthel, rangkanya NU, setang dan sedelnya Muhammadiyah,
sedangkan kami ya cuma stiker untuk nutupin lecet cat yang mengelupas aja kok.
Mau ada tanggapan atau nggak ada, Nggak ada efeknya, Bung. Ya maklum, namanya
juga minoritas.
Tapi ada baiknya sampeyan menyimak
apa yang pernah disampaikan oleh penulis Gaspar, Mas Dio pas
ngisi materi di acara Jambore Mojok beberapa waktu silam. Entah mengutip dari
siapa, kira-kira begini, “Membuat orang tertawa adalah serendah-rendahnya
komedi.”
Mas Dio juga menceritakan pula bahwa ada seorang
yang tampil di atas panggung, kemudian membaca buku di hadapan orang yang
menunggu dan berharap akan menyaksikan sebuah acara komedi. Sekali lagi, dia
membaca buku di atas panggung di mana penontonnya sedang nunggu buat dibikin
ketama. Buset dah, itu di mana letak lucunya coba?
Pola pikir ini yang kemudian saya tangkap sebagai alasan kenapa di organisasi kami cenderung tidak ada kelucuan. Humor cerdas, apalagi menjadi pendengar humor tersebut, itu mudah kok. Asal definisi humor tersebut tidak selalu berarti lucu. Kritikan yang terlampau kritis bisa juga berubah seperti humor. Dalam titik tertentu humor tidak melulu harus berakhir dengan ketawa bahagia, ketawa getir kan juga ada ya kan?
Jadi begini. Bagi kami orang LDII ini, rasan-rasan orang di sekitar kami, kesaksian-kesaksian yang diungkap di media, komentar-komentar ustaz-ustaz di Youtube mengenai kami, dan semua celotehan yang menyudutkan kami itulah komedi yang sesungguhnya. Mereka membuat kami benar-benar tertawa. Alih-alih bersedih karena stereotip tersebut lalu dicurigai sedemikian rupa.
Saya menyaring, mengambil inti sebuah makna dari
tulisan almarhum Cak Rusdi Mathari yang sangat saya rindukan, “Anjingkan daku,
kau kumonyetkan.”
Maafkan saya Cak Rusdi, saya kok sempat
mengartikannya seperti ini…
“Sesatkan aku, kau kukafirkan.”
Sumber : https://mojok.co/esai/nggak-seperti-kami-yang-ldii-muhammadiyah-sudah-cukup-lucu-kok/
Komentar
Posting Komentar